Lukisan Arjuna. (balisaja.com/gambar diambil dari sampul buku kumpulan cerpen karya IBW Widiasa Keniten, “Ngalih Arjuna di Kamasan” (Pustaka Ekspresi, 2021) |
Arjuna Tak Butuh Cinta
“Jika cintamu berlabuh pada Arjuna
katakan kesetiaanku padanya
seperti mentari dengan rembulan.”
“Jika cintamu kau rawat pada Arjuna
katakan padanya janjinya belum kuraih.”
tujuh bidadari itu menitipkan pesannya
pada gunung, pada ranting, pada ilalang, pada embun
yang membasahi hatinya.
beribu kisah ia rajut di samudera rindu
yang tiada pernah pupus termakan waktu
setiap jengkal kata terucap, Arjuna
yang menghiasi sunyi hatinya.
dikibas-kibaskanlah selendangnya
harumnya menukik membuncah
peluhnya meleleh memecah kalbu
“Beri aku senyum
yang meluluhkan dahagaku
jangan kau palingkan wajah
biuslah hatiku dalam balutan rindu.”
“Kembalilah Arjuna
mari kita terbang menuju awan putih
di puncak Indrakila kita bercumbu.”
tujuh bidadari itu menghitung ranting awan
yang luruh bersama denyut gunung
hatinya membisu bibirnya kelu
“Mari kita pulang
Arjuna tak butuh cinta
cintanya telah lebur
bersama napas mentari.”
Kupetik Bilwa Lubdaka
pohon rindu yang kau tumbuhkan dalam hati
masihkah kau rawat di senja ini?
ingin kupetik bilwa yang kau panjat
dengan wajah pucat
yang kau luruhkan sebening cintamu
dalam ribuan dekapan permainan hidup
“Jika kau langkahkan kaki menuju arah mentari
jangan lupa singgah di simpang hatimu
yang terbagi dalam bentangan rindu sunyi
yang kau rawat bersama sepi.”
beri aku waktu mendekap kisahmu
akan kusenandungkan di rahim bumi
yang tegak lurus pada langit
dan kau berdiri di sana
merangkul satwa
kau satukan jiwa sebening embun
kau tawarkan senyummu
entah ke mana cinta ini berlabuh
entah kapan, entah kapan cinta ini teduh
yang luluh di puncak sungguh
Lubdaka, masihkah ada rindu di ujung hatimu?
akan kudekap kisah kasih permainan sunyi
hanya kasih yang memurnikan diri
yang mewujud dari sunyimu
Semarapura, 2020
Bilah-bilah Daun Lontar
pangrupak tua yang kau wariskan
menggoreskan namamu
Wagiswari Saraswati hyanghyanging kalangon
kau sapa setiap yang rindu padamu
dengan wajah cinta tanpa imbalan
dalam putaran japa kusebut namamu
walau tak seindah yang kau harap
inilah baktiku tak sesempurna dirimu
kekasih
setiap kata bergetar
dalam bilah-bilah daun lontar
tiada sempat kubaca penuh
karena kau tanpa tertulis
tanpa awal tanpa akhir
hanya sepi di hati yang bertaut
berilah aku rindu padamu
akan kutulis kata buatmu
walau tak seutuhnya
karena kaulah yang seutuhnya
dalam bilah-bilah lontar
kupuja dirimu lewat napas
yang juga milikmu
berakhir juga padamu.
Semarapura, 2020
Jayaprana-Layonsari
di ujung keris kau murnikan cintamu
menentang kisah, meruat cinta
belum habis cerita bahagia yang kaurajut
kau peluk kebisuanmu pada hati
“Aku bukan kepingan berwarna hitam
tubuhku bukan kuasamu, aku Layonsari
yang menata diri bersama Jayaprana.
raja tua itu membuncahkan hasratnya.
ia ciptakan kegelapan di hatinya
butanya melaut
“Aku punya kuasa,” ucapnya
Layonsari tersenyum,
sorot matanya memerah
“Ini cintaku bukan kuasamu.”
ia cabut darah cintanya
bersama alunan nada abadi
burung-burung gagak mewartakan,
“Ini kisah sepasang kekasih
yang melarutkan cinta sepanjang waktu
di Teluk Terima, di Teluk Terima
cintanya abadi di langit bisu.”
Semarapura, 2020
________________________