Gelombang penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa semakin meluas. Jika awalnya hanya desa-desa adat di Badung Selatan yang menolak rencana itu, belakangan meluas sampai ke seluruh Bali. Pekan ini, penolakan reklamasi Teluk Benoa dikumandangkan Desa Adat Kesiman, Denpasar. Desa Adat Kuta menjadi salah satu motor penggeraknya. Di barisan gerbong Desa Adat Kuta itu, sosok I Wayan Swarsa yang menjadi Bendesa Adat Kuta, memainkan peran penting, termasuk dalam kelompok pasubayandesa adat penolak reklamasi Teluk Benoa.
Swarsa menuturkan sikap Desa Adat Kuta yang menolak reklamasi Teluk Benoa ditelorkan dalam keputusan Paruman Desa Adat Kuta, Sabtu, 23 Januari 2016. Menurut Swarsa, keputusan Desa Adat Kuta ini merupakan hasil sangkepan banjar yang diperkuat pula oleh kajian berdasarkan lontar. Karenanya dia berharap investor bisa memahami hal itu.
I Wayan Swarsa |
Swarsa menyatakan, sikap Desa Adat Kuta menolak reklamasi Teluk Benoa dilandasi alasan melestarikan tetamian panglingsir Bali. Itu berupa kawasan suci di Teluk Benoa, berupa pura, muntig, beji, lolohan, dan campuhan. Menurut Swarsa, keberadaan suatu tempat sebagai kawasan suci tidak saja karena memang tempat itu dinyatakan sebagai kawasan suci, tetapi juga karena perilaku manusia terhadap kawasan itu.
Swarsa juga menegaskan kalau kawasan suci yang ada di Teluk Benoa tidak akan hilang walaupun seandainya peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat menghilangkan kawasan suci ini. Bagi pihaknya di Desa Adat Kuta, secara faktual areal itu masihlah kawasan suci. Masih ada masyarakat yang bersembahyang di muntig, Pura Dalem Karang, Batu Lumbang, dan sebagainya. Ini, kata Swarsa, harus menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah.
“Kami merasakan keyakinan kami tercederai dan ada ketidakpantasan di sana. Awalnya tidak ada pulau, lalu dibuatkan pulau. Apalagi ada ribuan kamar hotel di sana. Ini menimbulkan dampak turunan,” kata Swarsa.
Selain alasan yang berkaitan dengan keyakinan agama dan kepercayaan lokal adat Bali, penolakan reklamasi Teluk Benoa juga didasari pertimbangan secara holistik. Di antaranya, dampak-dampak yang ditimbulkan, seperti dampak lingkungan, dampak sosial, beban urbanisasi hingga potensi kriminalitas.
Disinggung tudingan yang menyebutkan penolak reklamasi Teluk Benoa sebagai kelompok antiperubahan dan antikemajuan pariwisata Bali, Swarsa menampiknya. Jika melihat satu sisi saja, memang apa yang dipikirkan kelompok proreklamasi seolah-olah benar. Namun, jika dilihat secara holistik serta berdasarkan sima-dresta Bali, reklamasi Teluk Benoa sesungguhnya bukanlah kebutuhan Bali.
“Katanya reklamasi akan menjadikan Bali seperti Singapura, seperti Dubai. Apakah memang akan seperti itu? Namanya juga harapan, bisa tercapai, bisa tidak. Lagi pula, mengapa memaksa Bali agar menjadi Singapura atau seperti Dubai? Benarkah orang yang datang ke Bali menginginkan ada objek wisata buatan? Katanya kita mengembangkan paiwisata budaya?” tanya Swarsa retorik. (b.)
“Katanya reklamasi akan menjadikan Bali seperti Singapura, seperti Dubai. Apakah memang akan seperti itu? Namanya juga harapan, bisa tercapai, bisa tidak. Lagi pula, mengapa memaksa Bali agar menjadi Singapura atau seperti Dubai? Benarkah orang yang datang ke Bali menginginkan ada objek wisata buatan? Katanya kita mengembangkan paiwisata budaya?” tanya Swarsa retorik. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI