Oleh: I MADE SUJAYA
Ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) di enam kabupaten/kota di Bali sudah makin dekat. Jika tidak ada perubahan dari Jakarta, hajatan ini tinggal beberapa bulan lagi. Para kandidat pun kian merapat ke tengah-tengah rakyat. Tak perlu blusukan turun ke desa-desa untuk merekam betapa kerapnya digelar pertemuan antara sang kandidat dengan calon pemilihnya, cukup dengan mencermati saja berita-berita di surat kabar lokal belakangan ini sudah bisa mengetahui makin kuatnya gerakan politik para calon mempengaruhi masyarakat.
Pertemuan politik para kandidat lazimnya dikemas dalam acara bertajuk simakrama (sejenis silahturami). Karena belum memasuki masa kampanye, para kandidat biasanya masih malu-malu untuk menebar janji-janji. Pernyataan yang umum disampaikan sang calon pemimpin dibalut dengan ungkapan khas Bali: ngandap kasor.
“Titiang rauh meriki gumanti wantah nyukserahang raga, ngandap kasor majeng ring ida dane krama sareng sami.” Begitu pernyataan yang kerap mengemuka dari bibir para petarung politik itu. Artinya, kira-kira begini, “Saya datang ke tempat ini semata-mata ingin menyerahkan diri kepada warga semua.”
Ngandap kasor berasal dari kata ngandap dan kasor. Menurut Zoetmulder dan Robson dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia, ngandap merupakan bentuk nasalisasi (anusuara) dari kata handap atau andap yang berarti ‘rendah, pendek, lebih rendah, kalah’. Kasor berarti ‘keadaan (sifat) yang rendah’. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang yang diterbitkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Dati I Bali, ngandap kasor diartikan sebagai ‘menyerah’.
Namun, Zoetmulder dan Robson menggunakan istilah angalap sor atau angalap kasor yang artinya ‘bersikap rendah hari, merendahkan diri, dengan khidmat, dengan rendah hati, tanpa keunggulan, dengan sopan, dengan lemah lembut’.
Dosen Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra dan Budaya Unud, I Wayan Suardiana dalam disertasinya, “Geguritan I Gede Basur dan I Ketut Bungkling Karya Ki Dalang Tangsub: Analisis Interteks dan Resepsi” juga menggunakan istilah serupa. Menurut Suardiana, sikap merendahkan diri yang tercermin ke dalam nilai-nilai ngalap kasor, umumnya dimulai dari proses berpikir kemudian dilanjutkan dengan ucapan dan terakhir akan diimplementasikan dalam tindakan.
Masyarakat Badung memiliki cerita rakyat yang menjadi rujukan sikap ngandap kasor atau pun ngalap kasor, cerita Ki Pasek Badak. Dalam legenda yang amat dipercaya masyarakat Buduk, Mengwi ini diceritakan Ki Pasek Badak bersedia mengalah demi kemenangan I Gusti Agung Putu, pendidi Kerajaan Mengwi. Kerendahan hati dan kesediaan Ki Pasek Badak ngandap kasor atau angalap kasor justru muncul ketika dia bisa saja mencapai kemenangan atas I Gusti Agung Putu. Akan tetapi, sikap tidak ambisius dan kesadaran tentang masa depan yang lebih baik, Ki Pasek Badak memilih jalan mengalah.
(Baca: Pasek Badak, Takluk Tanpa Tunduk)
(Baca: Pasek Badak, Takluk Tanpa Tunduk)
Karena sikap ngandap kasor Ki Pasek Badak itulah, I Gusti Agung Putu bisa mewujudkan impiannya membangun Kerajaan Mengwi hingga menjadi kerajaan penting dan berpengaruh di Bali pada abad ke-18. Legenda ini juga mengajarkan sikap saling menghargai dan bagaimana seyogyanya pemenang memperlakukan pihak yang kalah dengan terhormat.
Namun, sikap ngandap kasor semestinya lahir dari ketulusan atau keikhlasan. Orang Bali menyebutnya lascarya. Dalam Kamus Bali-Indonesia, lascarya diartikan sebagai ‘ikhlas, rela’. Dalam tradisi Bali, lascarya merupakan nilai hidup yang penting. Masyarakat Bali diajarkan untuk lascarya dalam menjalankan suatu tindakan. Lascarya juga berkaitan dengan keberanian dan keikhlasan dalam menghadapi segala persoalan hidup. Orang yang lascarya tak pernah takut menghadapi kematian tetapi juga menghargai hidup.
Dalam pandangan masyarakat Bali, sikap lascarya biasanya dikaitkan dengan kesediaan untuk kehilangan sesuatu yang dimiliki atau memberikan sesuatu itu kepada pihak lain. Dalam konteks relasi antara raja dan rakyat, lascarya identik dengan sikap rakyat yang mempersembahkan sesuatu kepada raja. Sikap lascarya rakyat itu akan berbuah pada sikap raja yang sueca (bermurah hati memberikan sesuatu). Ngandap kasor tak boleh sekadar basa-basi politik.
Dalam pandangan masyarakat Bali, sikap lascarya biasanya dikaitkan dengan kesediaan untuk kehilangan sesuatu yang dimiliki atau memberikan sesuatu itu kepada pihak lain. Dalam konteks relasi antara raja dan rakyat, lascarya identik dengan sikap rakyat yang mempersembahkan sesuatu kepada raja. Sikap lascarya rakyat itu akan berbuah pada sikap raja yang sueca (bermurah hati memberikan sesuatu). Ngandap kasor tak boleh sekadar basa-basi politik.
______________________________________
Foto: I Made Sujaya
Penyunting: Ketut Jagra
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI