Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, selama ini dikenal sebagai salah satu daerah pusat kerajinan model sanggah (tempat suci di rumah) serta gerabah. Lihatlah di sepanjang jalan desa ini yang menghubungkan Denpasar dan Tabanan, nyaris dipenuhi dengan pajangan model sanggah serta gerabah yang dijual warga setempat. Selain dikenal sebagai salah satu pusat kerajinan khas Bali itu, Kapal juga dikenal karena memiliki aturan lokal yang unik yakni tiada boleh membangun rumah menggunakan kayu jati dan batu bata merah.
Sejumlah desa lain yang berdekatan dengan Kapal seperti Sading, Tangeb dan sejumlah desa lainnya juga memiliki pantangan serupa. Di Sading, pantangan tak boleh menggunakan batu bata merah untuk bangunan rumah itu konon karena adanya bhisama (amanat) pendiri kerajaan Mengwi, I Gusti Agung Anom yang menyatakan tidak akan memada-mada (meniru-niru) Pura Purusada, Kapal dalam membangun rumah. Pasalnya, permohonan I Gusti Agung Anom di Pura Purusada agar dikaruniai putra dikabulkan. Bhisama ini diikuti oleh panjak (rakyat)-nya termasuk di Sading.
Namun, berbeda halnya dengan apa yang diyakini di Kapal sendiri. Sebagaimana diungkapkan tokoh masyarakat Kapal yang juga penekun sastra, Ketut Sudarsana, munculnya pantangan memakai batu bata merah serta kayu jati karena adanya bhisama dari Patih Raja Bali, Ki Kebo Iwa ketika hendak merenovasi Pura Purusada.
“Ini termuat dalam lontar Babad Celuk,” kata Sudarsana. Diceritakan sekitar tahun Isaka 1260 atau 1338 Masehi, Raja Bali, Sri Astasura Ratna Bhumi Banten memerintahkan para patihnya untuk memperbaiki kahyangan yang ada di seluruh Bali. Selaku patih yang berkedudukan di Blahbatuh, Ki Kebo Iwa mendapat tugs untuk merenovasi Pura Purusada di Desa Kapal. Namun, tatkala beryoga di Pura Purusada, sang patih mendengar sabda agar terlebih dulu mengerjakan Bale Agung Taro karena merupakan tempat pertemuan para dewa dan bhatara. Sang patih pun menuruti perintah dalam sabda itu dengan mulai mengerjakan Bale Agung Taro, pada Sukra Umanis Ukir, Sasih Kasa tahun Isaka 1260 atau 1338 Masehi. Sementara renovasi di Pura Purusada dimulai Rabu Umanis, Wuku Prangbakat pada tahun yang sama.
Menjelang selesainya Bale Agung Taro sekaligus berdekatan dengan hari dimulainya renovasi Pura Purusada, ternyata sang patih yang dikenal berperawakan super ini kekurangan batu bata merah sebanyak satu keranjang. Karenanya, Kebo Iwa mengambil sebatang kayu jati sebagai sanan (pemikul), sebuah sendi dengan tali pengikat rantai besi. Kebo Iwa yang juga disebut dengan nama Kebo Taruna ini mengambil batu bata merah di Desa Nyanyi, di daerah Tabanan. Kebo Iwa mengambil hanya satu keranjang, sedangkan keranjang yang satu lagi diisi dengan sendi sebagai penyeimbang. Meski keranjang sudah penuh, keseimbangan pikulan belum juga terjadi. Karena hari renovsi Pura Purusada sudah semakin dekat, keranjang yang belum kunjung seimbang itu tetap dibawanya ke Bale Agung Taro. Namun, tak dinyana, tatkala melintas di jaba Pura Purusada, kayu pemikulnya yang terbuat dari kayu jati itu patah. Batu bata merah yang dibawanya pun hancur berserakan di bawah, sedangkan sendinya terpelanting ke ujung pohon beringin.
“Dari kejadian itulah, Ki Kebo Iwa mengeluarkan kutukan, masyarakat Kapal tidak dibolehkan menggunakan kayu jati dan batu bata merah sebagai bahan bangunan rumah. Bila dilanggar, msyarakat desa ini tidak akan menemukan kebahagiaan, saling dalih dengan sanak keluarga,” tutur Sudarsana. (b.)
____________________________________
Penulis: I Made Sujaya
Foto: I Made Sujaya
Penyunting: Ketut Jagra
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI